Jumat, 11 September 2009

spirit ramadan Iman Besar Istiqlal

Oleh:
Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA
Imam Besar Masjid Istiqlal

Dai Jangan Pikirkan Duit

Saat ini, banyak sekali pengemis dan pedagang yang berkeliaran di lingkungan masjid. Saya tidak habis pikir, kenapa mereka berani mengemis dan berdagang di lingkungan masjid. Padahal sudah dijelaskan bahwa mengemis atau meminta-minta di masjid hukumnya haram. Baik itu di dalam masjid maupun luar majid.
Dalam Islam, ada 3 hal yang memperbolehkan seseorang untuk mengemis atau meminta-minta. Pertama, orang yang mempunyai tanggungan untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri. Misalnya, panitia masjid mempunyai hutang. Maka dia diperbolehkan minta sumbangan untuk menutup hutangnya.
Kedua, orang yang tertimpa musibah, bencana alam, dan ada saksi untuk itu. Sehingga hartanya ludes. Dia boleh minta-minta untuk menyambung hidup saja. Ketiga, orang yang secara fisik tidak dapat bekerja sama sekali. Misalnya tidak memiliki tangan dan kaki. Dia juga boleh meminta-minta sepanjang untuk menyambung hidupnya.
Di luar itu, meminta-minta hukumnya haram. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: Ya, Rasulullah (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?”, Beliau menjawab’” Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak diperhatikan, lalu ia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain”.
Menurut saya, kasus seperti ini terjadi karena pemahaman masyarakat soal agama sangat rendah. Perlu peningkatan pemahaman dalam hal seperti ini. Jangan-jangan ustad-ustad tidak pernah menerangkannya dalam dakwah yang dilakukan. Sebab, ustada jaman sekarang hanya ustad yang bisa membuat jemaahnya tertawa. Sekarang ini trennya seperti itu.
Yang laris dicari orang adalah mereka yang membuat orang tertawa dan senang. Bukan yang membuat mereka bertambah ilmunya. Selain itu, hadis yang disampaikan merupakan hadis palsu. Yang terpenting adalah mereka laku.
Saya kira perlu ada semacam pelatihan-pelatihan dai. Agar dai menjadi berkualitas. Disamping itu, dai harus menata diri. Sekarang ini banyak sekali dai yang lebih mengutamakan cara berbicara yang tepat. Diterima jemaahnya dan masyarakat. Sehingga dia kemudian populer. Kalau sudah populer, ujung-ujungnya duit.
Hal tersebut bahaya sekali kalau dai sasaranya duit. Dai sekarang sudah menjadi profesi yang dapat mendatangkan duit. Banyak sekali yang menjadikan duit sebagai acuan. Dai yang sudah populer memasang tarif tertentu untuk sekali dakwah. Saya sering sekali mendapatkan laporan dari panitia-panitia yang mengeluhkan dai berorientasi duit. Khusus di Jakarta. Ada dai yang memasang tarif Rp 15 juta. Ada yang Rp 40 juta. Kalau tidak dipenuhi, dia tidak akan datang atau sebagainya.
Terutama Ramadan, banyak dai yang mempromosikan diri agar dapat mengumpulkan duit dan menjadi populer. Mereka menggiring jemaah untuk ikut umroh, yang ujung-ujungnya duit lagi. Hal ini sangat memprihatinkan. Kalau masih sama saja, maka koruptor akan tetap menjadi koruptor, maling tetap jadi maling.
Kalau hal tersebut memang terbukti, ini merupakan tanda-tanda orang yang menjual agama untuk kepentingan dunia. Sebenarnyam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ulama sudah memberikan saran dan contoh dakwah yang baik. Dakwah itu, bukan untuk mengumpulkan duit. Tapi tanggung jawab untuk menyelamatkan umat dari neraka jadi masuk surga. Pada intinya, dakwah mengajak orang lain untuk menyembah Allah.
Banyaknya dai dan ustad yang tidak pernah berdakwah dengan benar berimbas terhadap tingkat keimanan umat. Akibatnya, setiap tahun Ramadah tidak memiliki arti penting. Ramadan lewat tidak ada perubahan apa-apa bagi masyarakat. Yang jelek jadi bagus tidak ada.
Ramadan hanya menjadi sebuah rutinitas dan ritual belaka. Umat tidak menghayati apa makna Ramadan. Hal ini terjadi karena tidak pernah mempelajari makna Islam, makna Ramadan, tujuan Ramadan.
Kita semua harus berupa. Jangan hanya mengandalkan MUI dan ulama saja. Sudah menjadi tugas setiap orang. Ramadan dijadikan bulan yang mengubah perilaku dari baik menjadi lebih baik, dari jelek menjadi baik. Kalau tidak seperti itu, tidak ada artinya. (disampaikan kepada wartawan indopos/cdl))

Tidak ada komentar: