Hendropriyono: Terorisme Ibarat Pohon
JAKARTA – Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono mengatakan, terorisme itu ibarat sebuah pohon. Untuk mematikannya, tidak cukup dengan memotong batang atau organisasi teroris dan daunnya atau pelaku teroris, melainkan harus memotong akar atau habitat dan membuat tanahnya tidak subur. Sehingga lama-kelamaan terorisme akan mati.
“Untuk mematikannya hanya ada dua. Dipotong pakai pisau atau tanahnya dibikin tandus. Selama ini yang ditangkap polisi itu hanya pelaku atau daun-daun dari pohon teroris. Selama pohonnya tidak mati, maka terorisme juga tidak akn mati,” ungkap Hendro, sapaan akrab Hendropriyono saat Pengkajian Ramadan di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhamadiyah Jalan Menteng Raya Jakarta Pusat, Selasa (2/3).
Turut hadir dalam pengkajian, Ketua Komisi Yudicial Busyro Muqoddas, Anggota Komisi I DPR Ali Mochtar Ngabalin, dan peneliti Keamanan Internasional dari LIPI Riefqi Muna.
Menurut peraih gelar doktor dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, kehidupan akar terorisme tergantung kepada lingkungan masyarakat sebagai tempat menetapnya. Diatas akar tersebut, batang terorisme hidup denga kuat sesuai dengan individunya.
Untuk memotong terorisme diperlukan kesadaran pelaku sendiri dan bantuan positif dari eksternal. Pisau yang digunakan untuk memotong akar pohon terorisme adalah sosial, ekonomi, masyarakat, dan agama.Pisau sosial dengan cara mempersulit pengurusan kartu kependudukan maupun administasi lainnya.
“Teroris yang menggunakan nama alias tidak diberikan KTP dengan nama aslinya. Tapi dengan nama aliasnya. Sehingga anak maupun keluarga kesulitan,” terang Hendro.
Cara ekonomi, lanjut mantan sekertaris Presiden Soeharto ini, memberikan pekerjaan yang layak kepada setiap masyarakat. Sehingga mereka tidak mudah untuk dirayu menjadi teroris. Sebab, kebanyakan pelaku teroris yang ditangkap adalah orang menengah ke bawah. Hanya bos-bos terorisme, seperti Noordin M Top dan Azahari saja yang berasal dari kalangan berada.
Sedangkan agama dan masyarakat dilakukan dengan berdialog soal agama dengan pelaku teroris. Mereka diajak diskusi dan membahas dasar melakukan bom bunuh diri. “Kasihan para pelaku ini. Mereka hanya korban saja. Kalau mau memberantas yang bos-bosnya,” kata pensiunan jenderal bintang empat ini.
Cara kedua, kata pria yang kini berusia 65 tahun ini, adalah membuat tanah menjadi tandus. Dalam hal ini diartikan membuat habitat terorisme semakin kecil. Lama-kelaman habitat tersebut mulai hilang. Menghilangkan teroris dari habitatnya sama saja seperti merusak hulunya.
“Yang penting adalah melakukan sosialiasasi kepada masyarakat. Jangan sampai pemimpin teroris mudah lari. Yang dibunuh tanahnya bukan orangnya. Teroris sekarang ini terus berregenerasi,” pungkasnya.
Diakui Hendro, semakin berkembangnya teroris di Indonesia juga akibat pengarus organisasi transnasional. Organisasi-organisasi ini adalah organisasi asing yang beraliran keras dan memberikan pemahaman tentang jihad yang salah kepada masyarakat.
Ditambahkan Busyro, terorisme dan teror merupakan dua hal yang berbeda. Teror adalah sebuah tindakan yang radikal. Sedangkan terorisme adalah ajaran yang membuat orang menjadi radikal.
“Akar dan sumber yang melandasi terorisme harus dibelah. Secara prinsip, terorisme itu merupakan refleksi dan konstuksi dari pemahaman keagaman dan ideologi,” katanya.
Sementara Ali Mochtar mengatakan, terorisme di Indonesia baru selesai jika Amerika menghentikan segala bentuk intervensinya. Jangan lagi memberikan bantuan dengan syarat harus membatu Amerika memerangi terorisme. Indonesia punya cara sendiri untuk menghentikan teroris ini.
“Ketika Hilary Clinton datang, Amerika akan memberikan bantuan 12 juta dolar Amerika, asalkan Indonesia siap membantu memerangi teroris,” katanya. (cdl)
JAKARTA – Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono mengatakan, terorisme itu ibarat sebuah pohon. Untuk mematikannya, tidak cukup dengan memotong batang atau organisasi teroris dan daunnya atau pelaku teroris, melainkan harus memotong akar atau habitat dan membuat tanahnya tidak subur. Sehingga lama-kelamaan terorisme akan mati.
“Untuk mematikannya hanya ada dua. Dipotong pakai pisau atau tanahnya dibikin tandus. Selama ini yang ditangkap polisi itu hanya pelaku atau daun-daun dari pohon teroris. Selama pohonnya tidak mati, maka terorisme juga tidak akn mati,” ungkap Hendro, sapaan akrab Hendropriyono saat Pengkajian Ramadan di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhamadiyah Jalan Menteng Raya Jakarta Pusat, Selasa (2/3).
Turut hadir dalam pengkajian, Ketua Komisi Yudicial Busyro Muqoddas, Anggota Komisi I DPR Ali Mochtar Ngabalin, dan peneliti Keamanan Internasional dari LIPI Riefqi Muna.
Menurut peraih gelar doktor dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, kehidupan akar terorisme tergantung kepada lingkungan masyarakat sebagai tempat menetapnya. Diatas akar tersebut, batang terorisme hidup denga kuat sesuai dengan individunya.
Untuk memotong terorisme diperlukan kesadaran pelaku sendiri dan bantuan positif dari eksternal. Pisau yang digunakan untuk memotong akar pohon terorisme adalah sosial, ekonomi, masyarakat, dan agama.Pisau sosial dengan cara mempersulit pengurusan kartu kependudukan maupun administasi lainnya.
“Teroris yang menggunakan nama alias tidak diberikan KTP dengan nama aslinya. Tapi dengan nama aliasnya. Sehingga anak maupun keluarga kesulitan,” terang Hendro.
Cara ekonomi, lanjut mantan sekertaris Presiden Soeharto ini, memberikan pekerjaan yang layak kepada setiap masyarakat. Sehingga mereka tidak mudah untuk dirayu menjadi teroris. Sebab, kebanyakan pelaku teroris yang ditangkap adalah orang menengah ke bawah. Hanya bos-bos terorisme, seperti Noordin M Top dan Azahari saja yang berasal dari kalangan berada.
Sedangkan agama dan masyarakat dilakukan dengan berdialog soal agama dengan pelaku teroris. Mereka diajak diskusi dan membahas dasar melakukan bom bunuh diri. “Kasihan para pelaku ini. Mereka hanya korban saja. Kalau mau memberantas yang bos-bosnya,” kata pensiunan jenderal bintang empat ini.
Cara kedua, kata pria yang kini berusia 65 tahun ini, adalah membuat tanah menjadi tandus. Dalam hal ini diartikan membuat habitat terorisme semakin kecil. Lama-kelaman habitat tersebut mulai hilang. Menghilangkan teroris dari habitatnya sama saja seperti merusak hulunya.
“Yang penting adalah melakukan sosialiasasi kepada masyarakat. Jangan sampai pemimpin teroris mudah lari. Yang dibunuh tanahnya bukan orangnya. Teroris sekarang ini terus berregenerasi,” pungkasnya.
Diakui Hendro, semakin berkembangnya teroris di Indonesia juga akibat pengarus organisasi transnasional. Organisasi-organisasi ini adalah organisasi asing yang beraliran keras dan memberikan pemahaman tentang jihad yang salah kepada masyarakat.
Ditambahkan Busyro, terorisme dan teror merupakan dua hal yang berbeda. Teror adalah sebuah tindakan yang radikal. Sedangkan terorisme adalah ajaran yang membuat orang menjadi radikal.
“Akar dan sumber yang melandasi terorisme harus dibelah. Secara prinsip, terorisme itu merupakan refleksi dan konstuksi dari pemahaman keagaman dan ideologi,” katanya.
Sementara Ali Mochtar mengatakan, terorisme di Indonesia baru selesai jika Amerika menghentikan segala bentuk intervensinya. Jangan lagi memberikan bantuan dengan syarat harus membatu Amerika memerangi terorisme. Indonesia punya cara sendiri untuk menghentikan teroris ini.
“Ketika Hilary Clinton datang, Amerika akan memberikan bantuan 12 juta dolar Amerika, asalkan Indonesia siap membantu memerangi teroris,” katanya. (cdl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar