Jumat, 11 September 2009

Petrokimia Bangun Pabrik

PT Petrokimia Bangun 130 Pabrik Pupuk Petroganik

SUBANG – PT Petrokimia Gresik akan membangun 130 pabrik pupuk petroganik di seluruh Indonesia selama 2009. Hingga kini, pabrik yang diresmikan pada 10 Juli 1972 ini baru memiliki 51 pabrik. Pabrik terakhir yang diresmikan ada di Desa Cirangkong Kecamatan Cijambe Kabupaten Subang. Pabrik yang dibangun dengan bekerjasama dengan PT Simpang Jaya Dua ini mampu memproduksi pupuk organik sebanyak 30 ton dalam satu hari. Pada 2010 jumlah pabrik petrorganik akan ditambah menjadi 200 buah.
“Pabrik ini adalah waralaba dari Petrokimia. Petrokimia hanya menyediakan alat. Sedangkan pengelolaan dilakukan PT Simpang Jaya Dua. Kita akan membangun pabrik serupa di seluruh Indonesia,” terang Direktur Utama PT Petrokimia Gresik Arifin Tasrif usai meresmikan pabrik, Jum’at (21/8).
Turut hadir dalam peresmian, Direktur Utama Bank BNI Gatot M Suwondo, Bupati Subang Eep Hidayat, Anggota DPR, Maruarar Sirat dan Ade Komarudin.
Dikatakan Arifin, hingga akhir 2009, Petrokimia menargetkan ada 130 pabrik petroganik yang dapat beroperasi. Diperkirakan, satu unit pabrik mampu menghasilkan 20-30 ton per hari. Sehingga pada akhir tahun, jumlah produksi pupuk organik mencapai 1 juta ton lebih.
“Pemakaian pupuk organik akan mengurangi pemakaian pupuk kimia. Saat ini, jumlah lahan padi di Indonesia mencapai 11-12 juta hektar. Setiap tahun dibutuhkan 2 juta ton pupuk per hektar per tahunnya. Jika dikalikan dengan jumlah lahan yang ada, dibutuhkan pupuk sebanyak 24 juta ton per tahunnya,” kata Afirin.
Untuk membangun sebuah pabrik petroganik, lanjut Arifin, dibutuhkan dana sebesar Rp 1,2 miliar. Jumlah tersebut hanya untuk penyediaan alat-alat pengolahan pupuk. Tidak termasuk penyediaan lahan dan bangunan.
“Petrokimia menjamin, akan membeli seluruh produksi pupuk organik yang dihasilkan. Pupuk yang sudah jadi langsung dikemas dengan karung yang diberi label Petrokimia. Pemilik pabrik tidak perlu lagi repot memasarkan produknya,” pungkasnya.
Petrokimia membeli pupuk organik yang sudah jadi dari tangan produsen sebesar Rp 1.130. Sedangkan pupuk-pupuk tersebut dijual lagi ke tangan petani dengan harga Rp 500 per kilogramnya. Penurunan harga terjadi karena pupuk organik masuk dalam kategori pupuk yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
“Setiap orang dapat menjalin kerjasama dengan Petrokimia untuk membangun pabrik serupa. Syaratnya utamanya ada dua, yaitu ketersediaan bahan baku dan aliran listrik,” katanya.
Menurut Arifin, pemakaian pupuk organik dapat mengembalikan keseimbangan tanah yang rusak akibat pupuk kimia. Tanah yang rusak akan segar kembali, namun membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Teknisi pabrik pupuk petroganik, Heri Susanto mengatakan, untuk mengolah pupuk sebanyak 250 kilogram dibutuhkan waktu selama 20 menit. Dalam 8 jam produksi dihasilkan pupuk sebanyak 10 ton.
“Tahap awal, bahan baku mentah dimasukan dalam mesin cruser untuk memacahkan bahan. Selanjutnya masuk ke mixer untuk menyatukan. Baru dimasukan ke fan granulator untuk membuat pupuk menjadi butiran. Pupuk yang keluar dari fan granulato disebut pupuk curah. Kemudian pupuk curah dimasukan kembali ke rotar hydrayer untuk dimatangkan dan dikemas,” jelas Heri.
Dalam 250 kilogram pupuk yang diproses, terdapat berbagai bahan baku, yaitu kotoran sapi sebanyak 125 kilogram atau 50 persen, kotoran ayam 85 kilogram atau 34 persen, mixtro atau zat penurun 2,5 kilogram atau 1 persen, dan kaptan 37,5 kilogram atau 15 persen.
“Semua bahannya organik. Tidak ada bahan kimianya. Mixtro dan Kaptan merupakan bahan baku yang disediakan dari PT Petrokimia,” katanya.
Saat ini, jumlah tenaga kerja baru ada 15 orang untuk satu shif. Kalau semuanya sudah lengkap, akan dilakukan penambahan pegawai sebanyak 30 orang. Sehingga jam kerja dibagi 3 shif.
Direktur Utama Bank BNI Gatot M Suwondo mengaku, akan berkomitmen serius untuk memberikan bantuan modal kepada para investor yang ingin membuat pabrik petroganik. Petrokimia sudah siap untuk menjadi penjamin agar investor bisa mendapatkan dana.
“Selama ini investor di daerah sudah masuk dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) di Bank BNI. Ke depan mereka harus masuk ke perbankan. Sehingga dana PKBL dapat diberikan kepada orang lain yang juga membutuhkan,” urainya.
Bupati Subang Eep Hidayat mengatakan, jumlah lahan padi di Subang seluas 80 ribu hektar. Jumlah produksi setiap tahunnya mencapai 1,1 juta ton. Hal ini membuat Subang sebagai penyumbang padi terbanyak di Jawa Barat.
“Akibat penggunaan pupuk kimia, lahan menjadi kritis. Sehingga petani harus menggunakan pupuk organik. Beras yang dihasilkan juga sehat dan berkualitas,” harapnya. (cdl)

Tidak ada komentar: